Saudaraku, tema
ini saya angkat dan terinspirasi oleh satu artikel yang saya dapatkan di
internet, mengenai istilah “miskin
ogah...matre tak mau”. Apakah anda setuju dengan pendapat ini?
Menurut
pengamatan yang ada, manusia itu ada empat tipe:
1.
Orang kaya yang
berpotensi kaya.
2.
Orang kaya yang
berpotensi miskin.
3.
Orang miskin yang
berpotensi miskin.
4.
Orang miskin yang
berpotensi kaya.
Saudaraku, coba
kita renungkan, kira-kira di mana posisi kita?
Kalau berbicara
soal alasan kenapa kita harus menjadi kaya, saya pikir masing-masing dari kita
sepertinya sudah memiliki alasan yang subjektif. Di telinga kita juga cukup
sering mendengar istilah tangan di atas
lebih baik dari tangan yang di bawah. Mungkin dari diri kita ada yang
beralasan demikian atau ingin menjaga harga diri dari meminta-minta, ingin
membahagiakan keluarga, ingin membangun sekolah, ingin punya waktu lebih luang
atau freedom of time, dan sebagainya.
Intinya adalah dengan kekayaan yang berlimpah dan pengelolaan yang yang baik,
hidup kita menjadi lebih bermakna karena semakin terbuka pintu untuk beribadah.
Tentu , kita sudah mengerti bahwa
harta kekayaan memang membawa fitnah bagi pemiliknya. Demikian pula kekurangan
harta alias miskin. Saya jadi teringat dengan taushiyah (Alm) Ustadz KH. Zainuddin MZ, beliau berkata begini:
“Kalau orang kaya sombong, orang lain nggak akan heran dan wajar karena yang
disombongkan tuh ada. Tapi kalau orang miskin sombong, nah, ini dia yang
kebangetan. Sudah miskin, sombong lagi; kira-kira apa yang disombongkan?”
Saudaraku, kaya dan miskin,
kelebihan dan kekurangan harta, adalah sama-sama ujian dari Allah SWT. Oleh
karenanya, Rasulullah SAW seringkali memohon perlindungan Allah Ta’ala dari
keburukan, kekayaan, dan kemiskinan. Beliau juga memohon perlindungan dari
himpitan hutang yang membelit kebahagiaan dan kenyamanan hidup. Beliau
menyamakan bahaya kemiskinan dengan bahaya kekafiran. Tidak hanya itu, beliau
menjelaskan bahwa hutang bisa mendekatkan seseorang kepada sifat-sifat
kemunafikan.
Dari Anas bin Malik, ia berkata:
Saya adalah pelayan Rasulullah SAW. Saya sering sekali mendengar beliau berdoa,
yang artinya: “Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari kegalauan pikiran dan kesedihan hati, kelemahan dan kemalasan,
kekikiran dan kepengecutan, himpitan utang, dan intimidasi orang lain.”
Doa di atas merupakan jawami’ul kalim, artinya ucapan yang
ringkas namun memiliki makna yang sangat luas, karena pada dasarnya jenis
keburukan itu hanya ada tiga bentuk: psikis, fisik dan faktor dari luar. Gangguan
psikis berasal dari kekuatan dalam jiwa manusia yang terdiri dari tiga hal:
kekuatan akal, kekuatan emosi, dan kekuatan nafsu syahwat.
Saudaraku, jika kita analisis,
sebenarnya kegundahan pikiran dan kesedihan hati itu memiliki kaitan yang erat
dengan kekuatan akal. Kepengecutan dan nyali yang ciut memiliki hubungan yang
erat dengan kekuatan emosi, sedang kekuatan syahwat memiliki hubungan yang erat
dengan sifat kikir.
Kekuatan fisik memiliki hubungan
yang erat dengan sifat lemah dan malas. Kemalasan terjadi dalam diri seorang
yang anggota badan dan kekuatannya sempurna-tidak cacat. Sedangkan kelemahan
itu biasanya terjadi pada seorang yang sebagian anggota badannya tidak
sempurna.
Sedangkan himpitan dan tekanan yang
berasal dari luar diri seseorang, berkaitan dengan dua hal. Yang pertama
berkaitan dengan harta, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kehormatan. Jika
kita menelaah kembali doa Nabi di atas, sesungguhnya di dalamnya mengakomodasi
unsur-unsur ini.
Adapun yang dimaksud dengan fitnah
kemiskinan menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam Kitab Fathul Bari, adalah: “Kemiskinan yang parah yang tidak disertai
oleh sikap kebajikan dan wara’,
sehingga ia tidak segan melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh
orang yang beragama dan mempunyai harga diri. Karena kemiskinannya, ia tidak
peduli bila menerjang segala hal yang haram.”
Hadis di atas mengingatkan kita agar
senantiasa bersikap waspada dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, baik di saat kita
mendapatkan limpahan nikmat berupa harta kekayaan atau kelapangan nikmat
lainnya, maupun saat diuji dengan kekurangan harta atau kesempitan lainnya.
Betapa banyak orang kaya yang lupa daratan karena kekayaannya. Ia memperoleh
harta dengan cara-cara yang melanggar batasan syariat dan membelanjakannya untuk
hal-hal yang diharamkan oleh agama. Begitupun juga tidak sedikit orang miskin
yang lalai beribadah karena kekurangan harta.
Imam Ahmad bin Nashr ad-Dawudi
berkata: “Kemiskinan dan kekayaan adalah cobaan dari Allah. Dengan keduanya,
Allah menguji hamba-hamba-Nya dalam hal kesyukuran dan kesabaran. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya
Kami telah menjadikan segala apa yang ada di bumi sebagai perhiasan, agar Kami
menguji mereka sehingga terbukti siapakah di antara mereka yang paling baik
amalnya.” (al-Kahfi: 7)
Saudaraku,
sudah cukup jelas bagi kita bahaya kekayaan dan kemiskinan. Hal itu tergantung
pada kondisi keimanan dan ketakwaan kita sebagai hamba Allah Ta’ala. Jika dalam
keadaan miskin atau sempit, kita tetap mampu menjaga ibadah, maka kemiskinan
lebih baik bagi kita. Dan jika dalam kondisi kaya atau lapang, kita juga masih
tetap mampu menjaga ibadah, maka hal itu merupakan nikmat yang sungguh luar
biasa dan patut kita syukuri.
Namun jika kita perhatikan, sangat
jarang orang yang dikaruniai kelapangan harta tetap mampu menjaga ketaatannya
kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mendoakan sebagian sahabat
agar dikaruniai harta kekayaan dan panjang umur, karena dengan hal itu mereka
lebih mampu untuk beribadah.
Dari Anas bin Malik, ia berkata:
Ibuku berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah Anas, pembantu anda. Tolong anda
berdoa untuknya!”
Maka beliau SAW
berdoa, yang artinya, “Ya Allah!
Perbanyaklah harta dan anaknya, dan berkahilah apa yang telah Engkau karuniakan
kepadanya.”
Note : Isi
materi ini ditulis ulang dari Buku ”Sedekahkan 1 dapatkan 700 kali lipat” oleh
Bahirul Amali, halaman buku 54-57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar