Jumat, 27 November 2015

Miskin Segan, Matre Tak Mau

Miskin Segan, Matre Tak Mau



Saudaraku, tema ini saya angkat dan terinspirasi oleh satu artikel yang saya dapatkan di internet, mengenai istilah “miskin ogah...matre tak mau”. Apakah anda setuju dengan pendapat ini?
Menurut pengamatan yang ada, manusia itu ada empat tipe:
1.      Orang kaya yang berpotensi kaya.
2.      Orang kaya yang berpotensi miskin.
3.      Orang miskin yang berpotensi miskin.
4.      Orang miskin yang berpotensi kaya.
Saudaraku, coba kita renungkan, kira-kira di mana posisi kita?
Kalau berbicara soal alasan kenapa kita harus menjadi kaya, saya pikir masing-masing dari kita sepertinya sudah memiliki alasan yang subjektif. Di telinga kita juga cukup sering mendengar istilah tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Mungkin dari diri kita ada yang beralasan demikian atau ingin menjaga harga diri dari meminta-minta, ingin membahagiakan keluarga, ingin membangun sekolah, ingin punya waktu lebih luang atau freedom of time, dan sebagainya. Intinya adalah dengan kekayaan yang berlimpah dan pengelolaan yang yang baik, hidup kita menjadi lebih bermakna karena semakin terbuka pintu untuk beribadah.
            Tentu , kita sudah mengerti bahwa harta kekayaan memang membawa fitnah bagi pemiliknya. Demikian pula kekurangan harta alias miskin. Saya jadi teringat dengan taushiyah (Alm) Ustadz KH. Zainuddin MZ, beliau berkata begini: “Kalau orang kaya sombong, orang lain nggak akan heran dan wajar karena yang disombongkan tuh ada. Tapi kalau orang miskin sombong, nah, ini dia yang kebangetan. Sudah miskin, sombong lagi; kira-kira apa yang disombongkan?”
            Saudaraku, kaya dan miskin, kelebihan dan kekurangan harta, adalah sama-sama ujian dari Allah SWT. Oleh karenanya, Rasulullah SAW seringkali memohon perlindungan Allah Ta’ala dari keburukan, kekayaan, dan kemiskinan. Beliau juga memohon perlindungan dari himpitan hutang yang membelit kebahagiaan dan kenyamanan hidup. Beliau menyamakan bahaya kemiskinan dengan bahaya kekafiran. Tidak hanya itu, beliau menjelaskan bahwa hutang bisa mendekatkan seseorang kepada sifat-sifat kemunafikan.
            Dari Anas bin Malik, ia berkata: Saya adalah pelayan Rasulullah SAW. Saya sering sekali mendengar beliau berdoa, yang artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan pikiran dan kesedihan hati, kelemahan dan kemalasan, kekikiran dan kepengecutan, himpitan utang, dan intimidasi orang lain.”
            Doa di atas merupakan jawami’ul kalim, artinya ucapan yang ringkas namun memiliki makna yang sangat luas, karena pada dasarnya jenis keburukan itu hanya ada tiga bentuk: psikis, fisik dan faktor dari luar. Gangguan psikis berasal dari kekuatan dalam jiwa manusia yang terdiri dari tiga hal: kekuatan akal, kekuatan emosi, dan kekuatan nafsu syahwat.
            Saudaraku, jika kita analisis, sebenarnya kegundahan pikiran dan kesedihan hati itu memiliki kaitan yang erat dengan kekuatan akal. Kepengecutan dan nyali yang ciut memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan emosi, sedang kekuatan syahwat memiliki hubungan yang erat dengan sifat kikir.
            Kekuatan fisik memiliki hubungan yang erat dengan sifat lemah dan malas. Kemalasan terjadi dalam diri seorang yang anggota badan dan kekuatannya sempurna-tidak cacat. Sedangkan kelemahan itu biasanya terjadi pada seorang yang sebagian anggota badannya tidak sempurna.   
            Sedangkan himpitan dan tekanan yang berasal dari luar diri seseorang, berkaitan dengan dua hal. Yang pertama berkaitan dengan harta, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kehormatan. Jika kita menelaah kembali doa Nabi di atas, sesungguhnya di dalamnya mengakomodasi unsur-unsur ini.
            Adapun yang dimaksud dengan fitnah kemiskinan menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam Kitab Fathul Bari, adalah: “Kemiskinan yang parah yang tidak disertai oleh sikap kebajikan dan wara’, sehingga ia tidak segan melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang beragama dan mempunyai harga diri. Karena kemiskinannya, ia tidak peduli bila menerjang segala hal yang haram.”
            Hadis di atas mengingatkan kita agar senantiasa bersikap waspada dan bertakwa kepada Allah Ta’ala, baik di saat kita mendapatkan limpahan nikmat berupa harta kekayaan atau kelapangan nikmat lainnya, maupun saat diuji dengan kekurangan harta atau kesempitan lainnya. Betapa banyak orang kaya yang lupa daratan karena kekayaannya. Ia memperoleh harta dengan cara-cara yang melanggar batasan syariat dan membelanjakannya untuk hal-hal yang diharamkan oleh agama. Begitupun juga tidak sedikit orang miskin yang lalai beribadah karena kekurangan harta.
            Imam Ahmad bin Nashr ad-Dawudi berkata: “Kemiskinan dan kekayaan adalah cobaan dari Allah. Dengan keduanya, Allah menguji hamba-hamba-Nya dalam hal kesyukuran dan kesabaran. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan segala apa yang ada di bumi sebagai perhiasan, agar Kami menguji mereka sehingga terbukti siapakah di antara mereka yang paling baik amalnya.” (al-Kahfi: 7)
            Saudaraku, sudah cukup jelas bagi kita bahaya kekayaan dan kemiskinan. Hal itu tergantung pada kondisi keimanan dan ketakwaan kita sebagai hamba Allah Ta’ala. Jika dalam keadaan miskin atau sempit, kita tetap mampu menjaga ibadah, maka kemiskinan lebih baik bagi kita. Dan jika dalam kondisi kaya atau lapang, kita juga masih tetap mampu menjaga ibadah, maka hal itu merupakan nikmat yang sungguh luar biasa dan patut kita syukuri.
            Namun jika kita perhatikan, sangat jarang orang yang dikaruniai kelapangan harta tetap mampu menjaga ketaatannya kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Rasulullah SAW mendoakan sebagian sahabat agar dikaruniai harta kekayaan dan panjang umur, karena dengan hal itu mereka lebih mampu untuk beribadah.
            Dari Anas bin Malik, ia berkata: Ibuku berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah Anas, pembantu anda. Tolong anda berdoa untuknya!”
Maka beliau SAW berdoa, yang artinya, “Ya Allah! Perbanyaklah harta dan anaknya, dan berkahilah apa yang telah Engkau karuniakan kepadanya.”

Note : Isi materi ini ditulis ulang dari Buku ”Sedekahkan 1 dapatkan 700 kali lipat” oleh Bahirul Amali, halaman buku 54-57.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar