Dari Jabir RA, dia
berkata, “Tidaklah pernah sama sekali Rasulullah SAW dimintai sesuatu (harta)
lalu beliau berkata tidak.” (Muttafaq
‘alaih).
Ada satu kisah menarik,
yang pernah dialami Aisyah RA.
“Suatu ketika, aku
didatangi oleh seorang wanita miskin bersama kedua anak perempuannya yang
nampak dalam keadaan lapar. Segera saja aku memberinya makanan berupa tiga
butir kurma. Lalu ia memberikan kepada setiap anaknya itu sebutir kurma.
Setelah itu, ia memasukkan sebutir kurma lain ke mulutnya untuk dimakan. Namun,
belum sampai kurma itu dikunyah, kedua anak itu meminta kurma lagi. Kemudian,
ibu itu mengeluarkan kurma yang baru saja singgah di mulutnya dan membelah
sebutir kurma itu menjadi dua bagian untuk keduanya. Apa yang dilakukannya itu
membuatku kagum. Maka aku pun menceritakan perbuatan wanita itu kepada
Rasulullah SAW, maka beliau menyabdakan, yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan surga untuknya dengan perbuatannya
itu. Atau Allah telah membebaskannya dari neraka dengan sebab perbuatannya
itu.” (HR. Muslim)
Kisah di atas
mengisyaratkan sebuah pelajaran yang sangat menarik dan berharga untuk kita.
Karena sebiji kurma yang diberikan kepada anaknya, seorang muslim dapat
penghargaan masuk ke surga Allah yang maha indah. Padahal, jika kita lihat,
apalah artinya sebutir kurma? Pasti semua orang menganggapnya kecil, sepele.
Bahkan, mungkin tidak berarti bagi sebagian orang. Namun, sedekah yang sedikit
itu bila diniatkan karena Allah Ta’ala, bisa menjadi sebuah amal saleh yang
dapat mengantarkannya ke dalam surga.
Jika pada bulan-bulan
selain bulan Ramadhan maka amal akan dibalas sampai 700 kali lipat (al-Baqarah: 261), pada bulan Ramadhan
hitungan pahalanya lebih besar dari itu. Rasulullah SAW mencontohkan kepada
kita, beliau adalah orang yang paling dermawan tatkala datang bulan Ramadhan.
Abdullah bin ‘Abbas RA menyebutkan, “...Bahwa Nabi adalah orang yang paling
dermawan dengan kebaikan dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Harta merupakan amanah
dari Allah Ta’ala dan pada hakikatnya harta yang kita miliki adalah harta yang
telah kita habiskan dan kita sedekahkan. Sedangkan harta yang kita tinggalkan
dan kita simpan adalah milik ahli waris kita. Yang kita sadari adalah bahwa
harta yang kita sedekahkan itu tidak akan berkurang sama sekali, tetapi justru
akan bertambah dan semakin subur.
Dalam sebuah hadis
riwayat Imam Muslim (no. 2588), Abu Hurairah RA menyebutkan: “Harta yang
disedekahi tidak akan pernah berkurang.” Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Sedekah tidak mengurangi harta. Allah
tidak menambah kepada seorang hamba karena sifat maafnya, kecuali kemuliaannya.
Dan tidaklah seseorang merendahkan diri (tawadu’) karena Allah, melainkan Allah
akan mengangkat derajatnya.” (HR.
Muslim).
Ibnu Jarir meriwayatkan
dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Seorang perempuan datang menemui Nabi SAW
membawa kain burdah.” Perempuan itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku menemui
engkau untuk memberikan kain ini.” Lalu beliau menerimanya dan beliau memang
memerlukan kain itu. Beliau pun memakainya. Lantas ada seorang sahabat yang
melihat kain itu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, indah sekali kain ini.
Berikanlah untukku.” Beliau bersadba, “Baiklah.”
Ketika Rasulullah telah
pergi, para sahabat mencela orang itu. Mereka bilang, “Alangkah bagusnya kamu
ini. Kamu meminta kain kepada Rasulullah, padahal kamu tahu bahwa beliau tidak
pernah menolah seorang peminta pun.”
Orang tersebut
menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang mendorongku untuk melakukan itu selain
aku berharap akan berkah kain itu setelah dikenakan Rasulullah. Semoga aku
dikafani dengannya.”
Anas berkata, “Bila
Rasulullah dimintai sesuatu atas nama Islam, pasti beliau memberinya. Pernah
ada seorang lelaki menemui beliau, lalu beliau memberinya sejumlah besar
kambing yang ada di antara dua gunung. Lalu orang tersebut pulang ke kaumnya
seraya berkata, “Wahai kaumku, masuklah Islam, karena Muhammad telah memberiku
suatu pemberian layaknya orang yang tidak takut miskin.” (HR. Muslim).
Saudaraku, Rasulullah
SAW sangat dermawan dan murah hati. Itulah akhlak beliau. Bila memberi sesuatu,
beliau seperti orang yang tidak takut kefakiran. Pernah suatu ketika, beliau
bersabda pada bendaharanya, Bilal, yang artinya. “Infakanlah, hai Bilal. Jangan takut Pemilik ‘Arsy akan mengurangi
(harta),” sabda beliau kepada Bilal. (HR.
al-Bazzar, ath-Thabarani, dan al-Baihaqi).
Beliau SAW juga pernah
bersabda, yang artinya: “Berinfaklah,
niscaya Allah mencukupimu.” (HR.
ath-Thabarani dalam al-Ausath, dari Qais bin Sala’ al-Anshari)
Murah hati dan dermawan
adalah dua sifat Allah Ta’ala. Allah itu Maha Penderma dan Pemurah. Dia memuji
orang-orang beriman yang menginfakan sebagian rezeki Allah berikan. Allah SWT
berfirman, artinya: “(Yaitu) mereka yang
beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka.” (al-Baqarah:
3)
Orang yang bersedekah
menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia yang merupakan sifat-sifat Allah,
Nabi-Nya, dan orang-orang beriman. Bersedekah karena Allah Ta’ala merupakan
usaha pembiasaan diri untuk berbuat kebajikan, melatih jiwa untuk rela memberi
dan berkorban, dan membuang keegoisan. Rasulullah SAW adalah manusia yang
paling baik, dermawan, pemberani, penyayang, tawaduk, adil, sabar, lembut,
lunak, pemaaf, dewasa, pemalu, dan teguh di atas kebenaran.
b.
Abu
Bakar ash-Shiddiq VS Umar bin Khaththab
Sebagaimana kita
ketahui, para sahabat Nabi Muhammad SAW selalu berlomba-lomba untuk berbuat
kebaikan dalam upaya melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya, tak
terkecuali Umar bin Khaththab dan Abu Bakar RA.
Kisah perlombaan
sedekah antara Umar bin Khaththab dan Abu Bakar RA ini terjadi pada peristiwa
Perang Tabuk. Pada waktu itu, Rasulullah SAW menyeru kepada para sahabatnya
untuk memberikan sedekah sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Umar bin
Khaththab RA pada saat itu memiliki harta kekayaan untuk disedekahkan. Dalam
hatinya, ia merenung, “Setiap kali Abu Bakar selalu membelanjakan hartanya
lebih banyak dari apa yang telah aku belanjakan di jalan Allah.” Karena tidak
mau kalah dengan Abu Bakar, Umar bertekad untuk membelanjakan setengah hartanya
di jalan Allah SWT.
Kemudian ia
pulang untuk mengambil harta yang akan disedekahkannya. Ia pulang dengan
perasaan gembira sambil membayangkan bahwa pada hari itu ia akan bersedekah
melebihi Abu Bakar
Lantas Umar
membawa harta itu kepada Rasulullah SAW. Pada saat itu beliau SAW bertanya
kepada Umar, yang artinya: “Apa ada yang
kamu tinggalkan untuk keluargamu, hai Umar?” Umar pun menjawab, “Ya, ada
yang aku tinggalkan, wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Seberapa banyak yang telah kamu tinggalkan
untuk keluargamu?” ia menjawab, “Aku tinggalkan setengahnya.”
Tidak berapa
lama kemudian Abu Bakar datang dengan membawa seluruh harta bendanya ke hadapan
Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Abu Bakar, “Apakah yang kamu tinggalkan untuk
keluargamu, hai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Aku meninggalkan Allah dan
Rasul-Nya kepada mereka (saya tinggalkan dengan keberkahan nama Allah SWT dan
Rasul-Nya serta keridhaan-Nya).” Mendengar hal itu, Umar bin Khaththab berkata,
“Sejak saat itu, aku mengetahui bahwa aku tidak akan pernah bisa melebihi Abu
Bakar.” (HR. Tirmidzi. Diriwayatkan
oleh Tirmidzi, Kitab al-Manaqib; Bab fi Manaqib Abi Bakr, no.3675. Tirmidzi
berkata, “Hadis ini hasan shahih.”)
Hikmah dari
kisah ini adalah bahwa berlomba-lomba dan berusaha melebihi orang lain dalam
kebaikan adalah perbuatan baik dan merupakan perbuatan yang disukai Allah SWT
dan Rasul-Nya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an, yang artinya: “...Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...” (al-Ma’idah: 48)
c.
Utsman
bin ‘Affan VS Abdurahman bin ‘Auf
“Kalau kita kaya, kita bisa bersedekah, berinfak,
membantu fakir miskin, menolong orang susah, membangun masjid, mendirikan
madrasah, dan sebagainya. Jadi dengan menjadi kaya, kita bisa lebih banyak
berbuat kebaikan sehingga lebih banyak meraup pahala.”
Kalimat di atas
atau yang semakna dengannya sering dilontarkan oleh orang-orang yang sedang
memiliki niat untuk mendapatkan kekayaan dunia, namun tidak ingin
disalahartikan oleh orang lain sebagai pengejar dunia. Seolah-olah mereka ingin
mengatakan bahwa kesibukan mereka terhadap dunia ini adalah untuk kemaslahatan
umat Islam dan akhiratnya.
Kalimat lainnya
yang biasanya mengiringi kalimat di atas: “Bekerja
kan ibadah, mendapat pahala juga.”
Kebanyakan
“dalil” yang digunakan untuk menguatkan pendapat di atas adalah kehidupan
sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang Allah Ta’ala takdirkan menjadi kaya,
seperti halnya Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf RA.
Al-Hakim
meriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah RA, berkata, “Utsman bin ‘Affan RA
datang kepada Nabi SAW dengan membawa seribu dinar ketika mempersiapkan pasukan
al-‘Usrah (pasukan perang Tabuk ketika masa sulit). Lalu Utsman meletakkan seluruh
dinar itu di pangkuan Nabi SAW. Abdurrahman berkata: Lalu Nabi SAW
membalikkannya seraya bersabda, yang artinya: “Tidak akan membahayakan Utsman apa pun yang dilakukannya setelah hari
ini.” Beliau mengatakannya beberapa kali.” (Dikeluarkan oleh al-Hakim, dan ia berkata, “Shahih
isnad-nya, hanya saja tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari-Muslim, namun disetujui
oleh adz-Dzahabi.”
Dari Ibnu Mas’ud
RA, dia berkata, “Kami pernah bersama Nabi SAW pada suatu perang. Saat itu
pasukan kaum muslim mengalami kesulitan, hingga aku melihat kepayahan di wajah
kaum muslim dan kebahagiaan di wajah kaum munafik. Ketika Rasulullah SAW
melihat kondisi itu, beliau bersabda, yang artinya, “Demi Allah, tidaklah akan tenggelam matahari ini, hingga kalian
mendapatkan rezeki dari Allah.”
Utsman RA
mengetahui hal tersebut dan membeli 14 unta beserta seluruh muatannya yang
berisi makanan lalu dia mempersembahkan sembilan dari tunggangan tersebut
kepada Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah melihat hal itu, beliau bersabda, “Apakah ini?” Para sahabat berkata,
“Utsman yang telah mengirimnya kemari.” Maka terlihat kebahagiaan di wajah
Rasulullah SAW dan tampak kesedihan di wajah kaum munafik. Lalu saya melihat
Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya kedua ketiak
beliau untuk mendoakan Utsman dengan suatu doa yang belum pernah saya dengar
beliau memanjatkannya untuk seseorang, baik sebelumnya maupun sesudahnya.
Beliau berdoa, “Ya Allah, berilah Utsman.
Ya Allah, berbuat baiklah terhadap Utsman.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabarani dan Ibnu ‘Asakir dari Abu
Mas’ud).
Abu Hurairah
berkata: “Utsman bin ‘Affan sudah membeli surga dari Rasulullah dua kali;
pertama ketika mendermakan hartanya untuk mengirim pasukan ke medan perang.
Kedua, ketika membeli sumur yang bernama Rȗmah.”
(HR.
Tirmidzi).
Utsman
menyumbang 20.000 dirham guna membeli sumur milik orang Yahudi tersebut untuk
digunakan oleh kaum muslim. Di perang Tabuk, Utsman bin ‘Affan telah
menginfakkan 300 unta dan 1.000 dirham.
Kisah sahabat
Abdurrahman bin ‘Auf RA tidak kalah menarik. Ia berinfak sebanyak 200 uqiyah ketika perang Tabuk. Tatkala
Rasulullah menanyakan apa yang ia tinggalkan untuk keluarganya, maka Abdurrahman
menjawab, “Ada, ya Rasulullah. Aku tinggalkan lebih banyak dan lebih baik
daripada yang aku sumbangkan.” “Berapa?”
tanya Rasulullah lagi. Abdurrahman menjawab, “Sebanyak rezeki, kebaikan, dan
upah yang dijanjikan Allah.”
Masih banyak
lagi kisah kedermawanan para sahabat yang kaya.
d.
Ali
bin Abi Thalib
Fathimah binti
Rasulullah SAW, istri Ali bin Abi Thalib karramallahu
wajhah, didatangi seorang peminta sedekah. Ketika itu Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah mempunyai 50 dirham.
Setelah menerima uang, pengemis itu pun pergi. Di tengah jalan, Ali bin Abi
Thalib karramallahu wajhah bertanya
berapa banyak yang diberi oleh Fathimah. Ketika diberitahu 25 dirham, Ali bin
Abi Thalib karramallahu wajhah menyuruh
pengemis itu kembali ke rumahnya. Pengemis itu pun menurutinya. Fathimah
memberikan 25 dirham lagi kepada pengemis itu.
Selang beberapa
hari, seorang hamba Allah menjumpai Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dengan membawa seekor unta. Orang itu mengadu
dalam kesusahan dan ingin menjual untanya. Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah tanpa ragu
menyatakan kesanggupan untuk membelinya, meskipun ketika itu dia tidak memiliki
uang. Dia berjanji akan membayar unta itu dalam beberapa hari.
Dalam perjalanan
pulang, Ali bin Abi Thalib berjumpa dengan seorang lelaki yang ingin membeli
unta itu dengan harga yang lebih tinggi daripada harga asal. Ali bin Abi Thalib
karramallahu wajhah pun menjual unta
itu kepada orang tersebut. Setelah mendapat uang, Ali bin Abi Thalib pun
membayarkan hutangnya kepada penjual unta tersebut.
Beberapa hari
kemudian, Rasulullah SAW berjumpa Ali bin Abi Thalib lalu bertanya, yang
artinya, “Hai Ali, tahukah kamu siapakah
yang menjual dan membeli unta itu?” Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa ia
tidak tahu. Lalu Rasulullah SAW menjawab bahwa yang menjual itu ialah Jibril
dan yang membelinya ialah Mikail.
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan)
itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang
kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan
mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali
pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (al-Isra’: 7)
Mahasuci Allah
yang telah menurunkan Islam melalui Rasul-Nya yang mulia. Islam menjadi bukan
sekadar indah, tetapi juga mudah dan penuh berkah. Seperti halnya hujan,
siraman Islam mampu menumbuhkan bibit-bibit kebaikan yang pernah dianggap mati.
Note : Isi
materi ini ditulis ulang dari Buku ”Sedekahkan 1 dapatkan 700 kali lipat” oleh
Bahirul Amali, halaman buku 130-138.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar