Jumat, 27 November 2015

Sedekah ala Nabi dan Para Sahabat

a.      Kedermawanan Rasulullah SAW

Dari Jabir RA, dia berkata, “Tidaklah pernah sama sekali Rasulullah SAW dimintai sesuatu (harta) lalu beliau berkata tidak.” (Muttafaq ‘alaih).
Ada satu kisah menarik, yang pernah dialami Aisyah RA.
“Suatu ketika, aku didatangi oleh seorang wanita miskin bersama kedua anak perempuannya yang nampak dalam keadaan lapar. Segera saja aku memberinya makanan berupa tiga butir kurma. Lalu ia memberikan kepada setiap anaknya itu sebutir kurma. Setelah itu, ia memasukkan sebutir kurma lain ke mulutnya untuk dimakan. Namun, belum sampai kurma itu dikunyah, kedua anak itu meminta kurma lagi. Kemudian, ibu itu mengeluarkan kurma yang baru saja singgah di mulutnya dan membelah sebutir kurma itu menjadi dua bagian untuk keduanya. Apa yang dilakukannya itu membuatku kagum. Maka aku pun menceritakan perbuatan wanita itu kepada Rasulullah SAW, maka beliau menyabdakan, yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan surga untuknya dengan perbuatannya itu. Atau Allah telah membebaskannya dari neraka dengan sebab perbuatannya itu.” (HR. Muslim)
Kisah di atas mengisyaratkan sebuah pelajaran yang sangat menarik dan berharga untuk kita. Karena sebiji kurma yang diberikan kepada anaknya, seorang muslim dapat penghargaan masuk ke surga Allah yang maha indah. Padahal, jika kita lihat, apalah artinya sebutir kurma? Pasti semua orang menganggapnya kecil, sepele. Bahkan, mungkin tidak berarti bagi sebagian orang. Namun, sedekah yang sedikit itu bila diniatkan karena Allah Ta’ala, bisa menjadi sebuah amal saleh yang dapat mengantarkannya ke dalam surga.
Jika pada bulan-bulan selain bulan Ramadhan maka amal akan dibalas sampai 700 kali lipat (al-Baqarah: 261), pada bulan Ramadhan hitungan pahalanya lebih besar dari itu. Rasulullah SAW mencontohkan kepada kita, beliau adalah orang yang paling dermawan tatkala datang bulan Ramadhan. Abdullah bin ‘Abbas RA menyebutkan, “...Bahwa Nabi adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Harta merupakan amanah dari Allah Ta’ala dan pada hakikatnya harta yang kita miliki adalah harta yang telah kita habiskan dan kita sedekahkan. Sedangkan harta yang kita tinggalkan dan kita simpan adalah milik ahli waris kita. Yang kita sadari adalah bahwa harta yang kita sedekahkan itu tidak akan berkurang sama sekali, tetapi justru akan bertambah dan semakin subur.
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim (no. 2588), Abu Hurairah RA menyebutkan: “Harta yang disedekahi tidak akan pernah berkurang.” Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Sedekah tidak mengurangi harta. Allah tidak menambah kepada seorang hamba karena sifat maafnya, kecuali kemuliaannya. Dan tidaklah seseorang merendahkan diri (tawadu’) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Seorang perempuan datang menemui Nabi SAW membawa kain burdah.” Perempuan itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku menemui engkau untuk memberikan kain ini.” Lalu beliau menerimanya dan beliau memang memerlukan kain itu. Beliau pun memakainya. Lantas ada seorang sahabat yang melihat kain itu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, indah sekali kain ini. Berikanlah untukku.” Beliau bersadba, “Baiklah.”
Ketika Rasulullah telah pergi, para sahabat mencela orang itu. Mereka bilang, “Alangkah bagusnya kamu ini. Kamu meminta kain kepada Rasulullah, padahal kamu tahu bahwa beliau tidak pernah menolah seorang peminta pun.”
Orang tersebut menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang mendorongku untuk melakukan itu selain aku berharap akan berkah kain itu setelah dikenakan Rasulullah. Semoga aku dikafani dengannya.”
Anas berkata, “Bila Rasulullah dimintai sesuatu atas nama Islam, pasti beliau memberinya. Pernah ada seorang lelaki menemui beliau, lalu beliau memberinya sejumlah besar kambing yang ada di antara dua gunung. Lalu orang tersebut pulang ke kaumnya seraya berkata, “Wahai kaumku, masuklah Islam, karena Muhammad telah memberiku suatu pemberian layaknya orang yang tidak takut miskin.” (HR. Muslim).
Saudaraku, Rasulullah SAW sangat dermawan dan murah hati. Itulah akhlak beliau. Bila memberi sesuatu, beliau seperti orang yang tidak takut kefakiran. Pernah suatu ketika, beliau bersabda pada bendaharanya, Bilal, yang artinya. “Infakanlah, hai Bilal. Jangan takut Pemilik ‘Arsy akan mengurangi (harta),” sabda beliau kepada Bilal. (HR. al-Bazzar, ath-Thabarani, dan al-Baihaqi).
Beliau SAW juga pernah bersabda, yang artinya: “Berinfaklah, niscaya Allah mencukupimu.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath, dari Qais bin Sala’ al-Anshari)
Murah hati dan dermawan adalah dua sifat Allah Ta’ala. Allah itu Maha Penderma dan Pemurah. Dia memuji orang-orang beriman yang menginfakan sebagian rezeki Allah berikan. Allah SWT berfirman, artinya: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (al-Baqarah: 3)
Orang yang bersedekah menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia yang merupakan sifat-sifat Allah, Nabi-Nya, dan orang-orang beriman. Bersedekah karena Allah Ta’ala merupakan usaha pembiasaan diri untuk berbuat kebajikan, melatih jiwa untuk rela memberi dan berkorban, dan membuang keegoisan. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling baik, dermawan, pemberani, penyayang, tawaduk, adil, sabar, lembut, lunak, pemaaf, dewasa, pemalu, dan teguh di atas kebenaran.

b.      Abu Bakar ash-Shiddiq VS Umar bin Khaththab
Sebagaimana kita ketahui, para sahabat Nabi Muhammad SAW selalu berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dalam upaya melaksanakan perintah Allah SWT dan rasul-Nya, tak terkecuali Umar bin Khaththab dan Abu Bakar RA.
Kisah perlombaan sedekah antara Umar bin Khaththab dan Abu Bakar RA ini terjadi pada peristiwa Perang Tabuk. Pada waktu itu, Rasulullah SAW menyeru kepada para sahabatnya untuk memberikan sedekah sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Umar bin Khaththab RA pada saat itu memiliki harta kekayaan untuk disedekahkan. Dalam hatinya, ia merenung, “Setiap kali Abu Bakar selalu membelanjakan hartanya lebih banyak dari apa yang telah aku belanjakan di jalan Allah.” Karena tidak mau kalah dengan Abu Bakar, Umar bertekad untuk membelanjakan setengah hartanya di jalan Allah SWT.
Kemudian ia pulang untuk mengambil harta yang akan disedekahkannya. Ia pulang dengan perasaan gembira sambil membayangkan bahwa pada hari itu ia akan bersedekah melebihi Abu Bakar
Lantas Umar membawa harta itu kepada Rasulullah SAW. Pada saat itu beliau SAW bertanya kepada Umar, yang artinya: “Apa ada yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, hai Umar?” Umar pun menjawab, “Ya, ada yang aku tinggalkan, wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya lagi, “Seberapa banyak yang telah kamu tinggalkan untuk keluargamu?” ia menjawab, “Aku tinggalkan setengahnya.”
Tidak berapa lama kemudian Abu Bakar datang dengan membawa seluruh harta bendanya ke hadapan Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Abu Bakar, “Apakah yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, hai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab, “Aku meninggalkan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka (saya tinggalkan dengan keberkahan nama Allah SWT dan Rasul-Nya serta keridhaan-Nya).” Mendengar hal itu, Umar bin Khaththab berkata, “Sejak saat itu, aku mengetahui bahwa aku tidak akan pernah bisa melebihi Abu Bakar.” (HR. Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Kitab al-Manaqib; Bab fi Manaqib Abi Bakr, no.3675. Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan shahih.”)
Hikmah dari kisah ini adalah bahwa berlomba-lomba dan berusaha melebihi orang lain dalam kebaikan adalah perbuatan baik dan merupakan perbuatan yang disukai Allah SWT dan Rasul-Nya, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an, yang artinya: “...Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...” (al-Ma’idah: 48)

c.       Utsman bin ‘Affan VS Abdurahman bin ‘Auf
“Kalau kita kaya, kita bisa bersedekah, berinfak, membantu fakir miskin, menolong orang susah, membangun masjid, mendirikan madrasah, dan sebagainya. Jadi dengan menjadi kaya, kita bisa lebih banyak berbuat kebaikan sehingga lebih banyak meraup pahala.”
Kalimat di atas atau yang semakna dengannya sering dilontarkan oleh orang-orang yang sedang memiliki niat untuk mendapatkan kekayaan dunia, namun tidak ingin disalahartikan oleh orang lain sebagai pengejar dunia. Seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa kesibukan mereka terhadap dunia ini adalah untuk kemaslahatan umat Islam dan akhiratnya.
Kalimat lainnya yang biasanya mengiringi kalimat di atas: “Bekerja kan ibadah, mendapat pahala juga.”
Kebanyakan “dalil” yang digunakan untuk menguatkan pendapat di atas adalah kehidupan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW yang Allah Ta’ala takdirkan menjadi kaya, seperti halnya Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf RA.
Al-Hakim meriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah RA, berkata, “Utsman bin ‘Affan RA datang kepada Nabi SAW dengan membawa seribu dinar ketika mempersiapkan pasukan al-‘Usrah (pasukan perang Tabuk ketika masa sulit). Lalu Utsman meletakkan seluruh dinar itu di pangkuan Nabi SAW. Abdurrahman berkata: Lalu Nabi SAW membalikkannya seraya bersabda, yang artinya: “Tidak akan membahayakan Utsman apa pun yang dilakukannya setelah hari ini.” Beliau mengatakannya beberapa kali.” (Dikeluarkan oleh al-Hakim, dan ia berkata, “Shahih isnad-nya, hanya saja tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari-Muslim, namun disetujui oleh adz-Dzahabi.”
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata, “Kami pernah bersama Nabi SAW pada suatu perang. Saat itu pasukan kaum muslim mengalami kesulitan, hingga aku melihat kepayahan di wajah kaum muslim dan kebahagiaan di wajah kaum munafik. Ketika Rasulullah SAW melihat kondisi itu, beliau bersabda, yang artinya, “Demi Allah, tidaklah akan tenggelam matahari ini, hingga kalian mendapatkan rezeki dari Allah.”
Utsman RA mengetahui hal tersebut dan membeli 14 unta beserta seluruh muatannya yang berisi makanan lalu dia mempersembahkan sembilan dari tunggangan tersebut kepada Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah melihat hal itu, beliau bersabda, “Apakah ini?” Para sahabat berkata, “Utsman yang telah mengirimnya kemari.” Maka terlihat kebahagiaan di wajah Rasulullah SAW dan tampak kesedihan di wajah kaum munafik. Lalu saya melihat Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya kedua ketiak beliau untuk mendoakan Utsman dengan suatu doa yang belum pernah saya dengar beliau memanjatkannya untuk seseorang, baik sebelumnya maupun sesudahnya. Beliau berdoa, “Ya Allah, berilah Utsman. Ya Allah, berbuat baiklah terhadap Utsman.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabarani dan Ibnu ‘Asakir dari Abu Mas’ud).
Abu Hurairah berkata: “Utsman bin ‘Affan sudah membeli surga dari Rasulullah dua kali; pertama ketika mendermakan hartanya untuk mengirim pasukan ke medan perang. Kedua, ketika membeli sumur yang bernama Rȗmah.” (HR. Tirmidzi).
Utsman menyumbang 20.000 dirham guna membeli sumur milik orang Yahudi tersebut untuk digunakan oleh kaum muslim. Di perang Tabuk, Utsman bin ‘Affan telah menginfakkan 300 unta dan 1.000 dirham.
Kisah sahabat Abdurrahman bin ‘Auf RA tidak kalah menarik. Ia berinfak sebanyak 200 uqiyah ketika perang Tabuk. Tatkala Rasulullah menanyakan apa yang ia tinggalkan untuk keluarganya, maka Abdurrahman menjawab, “Ada, ya Rasulullah. Aku tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang aku sumbangkan.” “Berapa?” tanya Rasulullah lagi. Abdurrahman menjawab, “Sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah.”
Masih banyak lagi kisah kedermawanan para sahabat yang kaya.

d.      Ali bin Abi Thalib
Fathimah binti Rasulullah SAW, istri Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, didatangi seorang peminta sedekah. Ketika itu Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah mempunyai 50 dirham. Setelah menerima uang, pengemis itu pun pergi. Di tengah jalan, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah bertanya berapa banyak yang diberi oleh Fathimah. Ketika diberitahu 25 dirham, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menyuruh pengemis itu kembali ke rumahnya. Pengemis itu pun menurutinya. Fathimah memberikan 25 dirham lagi kepada pengemis itu.
Selang beberapa hari, seorang hamba Allah menjumpai Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dengan membawa seekor unta. Orang itu mengadu dalam kesusahan dan ingin menjual untanya. Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah tanpa ragu menyatakan kesanggupan untuk membelinya, meskipun ketika itu dia tidak memiliki uang. Dia berjanji akan membayar unta itu dalam beberapa hari.
Dalam perjalanan pulang, Ali bin Abi Thalib berjumpa dengan seorang lelaki yang ingin membeli unta itu dengan harga yang lebih tinggi daripada harga asal. Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pun menjual unta itu kepada orang tersebut. Setelah mendapat uang, Ali bin Abi Thalib pun membayarkan hutangnya kepada penjual unta tersebut.
Beberapa hari kemudian, Rasulullah SAW berjumpa Ali bin Abi Thalib lalu bertanya, yang artinya, “Hai Ali, tahukah kamu siapakah yang menjual dan membeli unta itu?” Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa ia tidak tahu. Lalu Rasulullah SAW menjawab bahwa yang menjual itu ialah Jibril dan yang membelinya ialah Mikail.

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (al-Isra’: 7)

Mahasuci Allah yang telah menurunkan Islam melalui Rasul-Nya yang mulia. Islam menjadi bukan sekadar indah, tetapi juga mudah dan penuh berkah. Seperti halnya hujan, siraman Islam mampu menumbuhkan bibit-bibit kebaikan yang pernah dianggap mati.


Note : Isi materi ini ditulis ulang dari Buku ”Sedekahkan 1 dapatkan 700 kali lipat” oleh Bahirul Amali, halaman buku 130-138.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar